
Hanoi – Suasana Hanoi, Vietnam yang padat setiap harinya rasanya tak lengkap jika tidak mencicipi kuliner maupun kopi khas dari Vietnam. Dan penyerang Deltras FC mengajak para The Lobster untuk bercerita bagaimana taste coffe di sudut kota Nhuom, Hoan Kiem Hanoi.
Bersama beberapa rekan setimnya, Jiddan menikmati salah satu sudut coffe shopp yang menyediakan pilihan aneka rasa coffe baik tradisional maupun kekinian.
Ice Black kopi yang menjadi pilihan pemain berusia 22 tahun ini untuk diseduh, rasanya kopi yang berbeda dengan kopi khas Indonesia menempel tajam dilidah Jiddan. Bagi pemain jebolan Semeru FC ini jika rasa stron kopi Indonesia masih bisa Ia taklukkan namun mencoba kopi tawar asli Vietnam membuatnya susah tidur dan berasa sedikit pusing.
“Kopi asli Vietnam yang saya coba memang beda rasa pahit dan asemnya pas yang, setelah mencicipi satu gelas saya langsung melek susah tidur dan sedikit bikin keliyengan padahal bisanya kalau pakai kopi indonesia tidak seperti ini,” ungkap Jiddan.
Adapun cara unik yang disajikan oleh coffe Shop di Hanoi, Vietnam. Setiap pembelian ice coffe atau sejenisnya ada tambahan seduhan teh hijau. Dan yang menarik untuk kopi di Vietnam rata-rata mereka tidak memberikan gula kecuali para penikmat coffe itu sendiri yang meminta gula untuk setiap seduhannya.
“Jadi beli kopi disini ada tambahnya semacam teh hijau tapi saya tidak tahu pasti secara khasiat atau fungsional tambahan itu untuk apa. Dan disini setiap beli kopi tidak diberi gula makanya orang sini body goals dan kalau kita minta baru dikasih,” ungkap Jiddan.
Soal harga, tidak terlalu jauh berbeda dengan Indoensia tapi dari segi kualitas rasa kopinya lebih enak di Vietnam. Ibarat kata di kota Hanoi ini coffeshopnya harga kaki lima rasa Bintang lima.
“Enak di sini mbak harga kakilima rasa bintang lima pdhal asal pilih tempat tapi ya sebelas dua belaslah dengan harga di Indonesia kalau di kruskan rupiah,” imbuhnya.
Sementara itu Jiddan juga menceritakan suasana di Hanoi,Vietnam sebenarnya hampir serupa dengan Indonesia hanya saja kendala bahasa dan cuaca yang menjadi interaksi menjadi terbatas.
“Kendalanya mungkin lebih ke bahasa dan kita adaptasi cuaca yang kaget dari panas ke dingin, ” tutupnya. (Tim)